Home Silsilah Blog Lain-lain Lain-lain Buku-tamu Lain-lain

Arsip untuk December, 2012

Pemuda dan Pemudi Teladan

Monday, December 31st, 2012

**Sang Pemuda**

Kecintaan Ali pada Rasulullah saw, dibalas dengan sangat manis oleh Rasulullah saw. Pada sebuah kesempatan Rasulullah saw menghadiahkan kepada Ali sebuah kalimat yang begitu melegenda, yaitu : “Ali, engkaulah saudaraku. Di dunia dan di akhirat…” Ali, merupakan pribadi yang istimewa. Ia marupakan remaja pertama di belahan bumi ini yang meyakini kebenaran yang disampaikan oleh Rasulullah saw. Konsekuensinya adalah, ia kemudian seperti tercerabut dari kegermerlapan dunia remaja. Disaat remaja lain berhura-hura. Ali sudah berkenalan dengan nilai nilai spiritual yang ditunjukkan oleh Rasulullah saw, baik melalui lisan maupun melalui tindak-tanduk beliau. “Aku selalu mengikutinya (Rasulullah saw) sebagaimana anak kecil selalu membuntuti ibunya. Setiap hari ia menunjukkan kepadaku akhlak yang mulia dan memerintahkanku untuk mengikuti jejaknya”, begitu kata Ali mengenang masa masa indah bersama Rasulullah saw tidak lama sesudah Rasulullah wafat.

Amirul mukminin Ali, tumbuh menjadi pemuda yang berdedikasi. Dalam berbagai forum serius yang dihadiri para tetua, Ali selalu ada mewakili kemudaan. Namun, muda tak berarti tak bijaksana. Banyak argumen dan kata kata Ali yang kemudian menjadi rujukan. Khalifah Umar bin Khatab bahkan pernah berkata, “Tanpa Ali, Umar sudah lama binasa”

Pengorbanannya menjadi buah bibir dalam sejarah Islam. Ali-lah yang bersedia tidur di ranjang Rasulullah saw, menggantikan dirinya, saat rumahnya sudah terkepung oleh puluhan pemuda terbaik utusan kaum kafir Quraisy yang hendak membunuhnya di pagi buta. Ali bertaruh nyawa. Dan hanya karena Allah saja semata, bila kemudian ia masih tetap selamat, begitu juga dengan Rasulullah yang saat itu ‘terpaksa’ hijrah ditemani Abu Bakar seorang.

Keperkasaan Ali tiada banding. Pada perang Badar, perang pertama yang paling berkesan bagi Rasulullah saw (Hingga sesudahnya, beliau memanggil para sahabat yang ikut berjuang dalam Badar dengan sebutan “Yaa…ahlul Badar…”), Ali menunjukkan siapa dirinya sesungguhnya. Dalam perang itu Ali berhasil menewaskan separo dari 70an pihak musuh yang terbunuh. Hari itu, bersama sepasukan malaikat yang turun dari langit, Ali mengamuk laksana badai gurun.

Perang Badar adalah perang spiritual. Di sinilah, para sahabat terdekat dan pertama-tama Rasulullah saw menunjukkan dedikasinya terhadap apa yang disebut dengan iman. Mulanya, jumlah lawan yang sepuluh kali lipat jumlahnya menggundahkan hati para sahabat. Tapi, do’a pamungkas Rasulullah saw menjadi penyelamat dari jiwa-jiwa yang gundah. Sebuah do’a, semirip ultimatum, yang sesudah itu tak pernah lagi diucapkan Rasulullah saw …”Ya Allah, disinilah sisa umat terbaikmu berkumpul … jika Engkau tak menurunkan bantuanmu, Islam takkan lagi tegak di muka bumi ini …”

**Sang Pemudi**

Bagi Fatimah, sosok Rasulullah saw, ayahnya, merupakan sosok yang paling dirindukannya. Walau hati sedih bukan kepalang, duka tidak berujung suka, begitu melihat wajah ayahnya, semua sedih dan duka akan sirna seketika. Bagi Fatimah, Rasulullah saw merupakan inspirator terbesar dalam hidupnya. Fatimah hidup dalam kesederhanaan karena Rasulullah saw menampakkan padanya hakikat kesederhanaan dan kebersahajaan. Fatimah belajar sabar, karena Rasulullah saw sudah menanamkan makna kesabaran melalui deraan dan fitnah yang diterimanya di sepanjang hidupnya. Dan Ali merasakan itu semua. Sebab Ali bin Abi Thalib tumbuh dan besar di tengah-tengah mereka berdua.

Maka, ketika Rasulullah saw mempercayakan Fatimah pada dirinya, sebagai belahan jiwanya, sebagai teman mengarungi kehidupan, maka ketika itulah hari paling bersejarah bagi dirinya. Karena sesunguhnya, Fatimah bagi Ali merupakan seperti bunda Khodijah bagi Muhammad saw. Sangatlah istimewa. Suka duka, yang lebih banyak dukanya mereka lewati bersama. Dua hari sesudah kelahiran Hasan, putra pertama mereka, Ali mesti berangkat pergi ke medan perang bersama Rasulullah. Ali tidak pernah benar-benar dapat mencurahkan seluruh cintanya untuk Fatimah juga anaknya. Ada mulut mulut umat yang menganga yang juga menanti cinta sang khalifah.

Mereka berdua hidup dalam kesederhanaan. Kesederhanaan yang sampai mengguncang langit. Penduduk langit bahkan sampai ikut menangis karenanya. Berhari-hari tak ada makanan di meja makan. Puasa tiga hari berturut turut sebab ketiadaan makanan pernah hinggap dalam kehidupan mereka. Tengoklah Ali, dia sedang menimba air di pojokkan sana, Setiap timba yang bisa angkat, dihargai dengan sebutir kurma. Hasan dan Husein bukan main riangnya mendapatkan sekerat kurma dari sang ayah.

Pun, demikian tidak pernah ada keluk kesah dari mulut mereka. Bahkan, mereka masih dapat bersedekah. Rasulullah saw … tak mampu menahan tangisnya … ketika mengetahui Fatimah memberikan satu-satunya benda berharga miliknya, seuntai kalung peninggalan sang bunda Khodijah, saat kedatangan pengemis yang meminta belas kasihan padanya. Rasulullah saw, yang perkasa itu, tak dapat menyembunyikan betapa air matanya menetes satu persatu … terutama mengingat bahwa kalung itu begitu khusus maknanya bagi dirinya … dan Fatimah rela melepasnya, demi menyelamatkan perut seorang pengemis yang lapar, yang bahkan tidak pula dikenalnya.

Dan lihatlah … langit tak diam. Mereka sudah menyusun rencana. Hingga, melalui tangan para sahabat, kalung itu akhirnya kembali ke Fatimah. Sang pengemis, budak belaian itu dapat pulang dalam keadaan kenyang, dan punya bekal pulang, menjadi hamba yang merdeka pula. Dan yang terpenting adalah kalung itu sudah kembali ke lehernya yang paling berhak … Fatimah. Namun, waktu terus berjalan. Cinta di dunia tidaklah pernah abadi. Sebab jasad terbatasi oleh usia. Mati …

Sepeninggal Rasulullah saw, Fatimah lebih sering berada dalam kesendirian. Fatimah bahkan sering sakit sakitan. Sebuah kondisi yang sebelumnya tidak pernah terjadi saat Rasulullah saw masih hidup. Fatimah seperti tak dapat menerima, mengapa kondisi umat begitu cepat berubah sepeninggal ayahnya. Fatimah merasa telah kehilangan sesuatu yang bernama cinta pada diri umat terhadap pemimpinnya. Dan Fatimah semakin menderita karenanya setiap kali ia terkenang pada sosok yang dirindukannya, Rasulullah saw.

Pada masa saat kekalutan tengah berada di puncaknya, Fatimah teringat pada sepenggal kalimat rahasia ayahnya. Pada detik-detik kematian Rasulullah saw …di tengah isak tangis Fatimah … Rasulullah saw membisikkan sesuatu pada Fatimah, yang dengan itu sudah berhasil membuat Fatimah tersenyum. Senyum yang tidak bisa terbaca. Pesan Rasulullah saw itu sangatlah rahasia, dia hanya dapat terkatakan nanti sesudah Rasulullah saw wafat atau saat Fatimah seperti sekarang ini…terbujur di pembaringan. Rasulullah saw berkata, “Sepeninggalku, … diantara bait-ku (keluargaku), engkaulah yang pertama-tama akan menyusulku …”

Salin-Edit dari FB :  Aslim.Akmal

 

Kyai “SAE”

Saturday, December 29th, 2012

Ada sebuah hadits yang menganjurkan kepada setiap mukmin untuk menghormati tetamunya, “Man kana yu’minu billahi wal yaumil akhiri falyukrim dloifah” barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah menghormati tetamunya.

Anjuran dan ajaran Rasulullah saw diatas itulah yang dipraktikkan oleh Mbah Arwani setiap menerima tetamu, baik tamu itu dikenal maupun tidak dikenal oleh Beliau. Bertamu kepada seorang ‘alim atau kiyai pasti memiliki tujuan khusus, tidak sekedar bersilaturrohim, seperti mengharap kehadirannya dalam suatu majlis atau minimal meminta do’a agar apa yang dihajatkan berhasil dan diridloi Allah Ta’ala.

Keistimewaan Mbah Arwani dalam menerima tetamu adalah selalu menyambutnya dengan senyuman, tutur kata yang lemah lembut, dan berbicara dengan menggunakan bahasa Jawa halus (kromo inggil) terkecuali kepada famili atau sahabat yang sudah dikenal dekat. Suguhan apapun sudah pasti selalu ada untuk tamu. Jika tetamunya meminta dido’akan pasti Beliau akan mendo’akannya, dan Beliau selalu menyisipkan kata-kata “sae” atau “apik” di sela-sela pembicaraan.

Kata “sae” atau “apik” adalah bahasa Jawa yang artinya “baik”, atau “khair” dalam bahasa Arab. Kata-kata ini sudah mengandung makna do’a karena setiap tetamu yang mengemukakan sesuatu yang hendak dimaksudkan selalu dinilai oleh Mbah Arwani baik. Kebiasaan mulia Mbah Arwani inilah yang dijadikan dasar (justifikasi) masyarakat Kudus khususnya, memberikan predikat kepada Beliau “Kiyai Sae” … sebuah julukan “istimewa” yang tidak akan ditemukan di mana pun … semoga kita mau dan mampu meneladani Sang “Kiyai Sae”, amin

(Aslim Akmal) Pengalaman penulis beberapa kali bersilaturrohim mendampingi ayah dan paman

Riwayat Singkat Mbah Arwani

Friday, December 28th, 2012

KH. Arwani adalah putra kedua dari 12 bersaudara. Saudara-saudara beliau secara berurutan adalah Muzainah, Arwani, Farkhan, Sholikhah, Abdul Muqsith, Khafidz, Ahmad Da’in, Ahmad Malikh, I’anah, Ni’mah, Muflikhah dan Ulya. Dari sekian saudara Mbah Arwani, yang dikenal sama-sama menekuni al-Qur’an adalah Farkhan dan Ahmad Da’in “Sang Jenius”. Ahmad Da’in dikenal jenius karena sudah hafal al-Qur’an terlebih dahulu daripada Mbah Arwani, yakni pada usia 9 tahun. Beliau bahkan hafal hadits Bukhori Muslim dan menguasai Bahasa Arab dan Inggris. Kecerdasan dan kejeniusan Ahmad Da’in inilah yang memacu Mbah Arwani dan adiknya Farkhan, lebih tekun belajar.

Konon, menurut Mbah Sya’roni, kelebihan Mbah Arwani dan saudara-saudaranya adalah berkat orang tuanya yang senang membaca al-Qur’an. Di mana orang tuanya selalu menghatamkan al-Qur’an meski tidak hafal. Selain barokah dari orang tuanya yang cinta kepada al-Qur’an, Mbah Arwani sendiri adalah sosok yang sangat haus akan ilmu. Ini dibuktikan dengan perjalanan panjang beliau berkelana ke berbagai daerah untuk mondok, berguru kepada ulama. Tak kurang, 39 tahun umur beliau dihabiskan untuk mengarungi samudera ilmu.

Diantara pondok pesantren yang pernah disinggahinya adalah pondok Jamsaren (Solo) yang diasuh oleh Kyai Idris, Pondok Tebu Ireng yang diasuh oleh KH. Hasyim Asy’ari dan Pondok Munawir (Krapak) yang diasuh oleh Kyai Munawir. Selama menjadi santri, Mbah Arwani selalu disenangi para guru-guru dan teman-temannya karena kecerdasan dan kesopanannya. Bahkan, karena kesopanan dan kecerdasannya itu, KH. Hasyim Asy’ari sempat menawarinya akan dijadikan menantu. Namun, Mbah Arwani memohon izin kepada KH. Hasyim Asy’ari bermusyawarah dengan orang tuanya. Dan dengan sangat menyesal, orang tuanya tidak bisa menerima tawaran KH. Hasyim Asy’ari, karena kakek Mbah Arwani (KH. Imam Haramain) pernah berpesan agar ayahnya berbesanan dengan orang di sekitar Kudus saja. Akhirnya, Mbah Arwani menikah dengan Ibu Nyai Naqiyyul Khod pada 1935. Bu Naqi adalah puteri dari KH. Abdullah Sajad, yang sebenarnya masih ada hubungan keluarga dengan Mbah Arwani sendiri. Dari pernikahannya dengan Bu Naqi ini, Mbah Arwani diberi empat keturunan. Namun yang masih sampai sekarang tinggal dua, yaitu KH. M. Ulinnuha dan KH. M. Ulil Albab, yang menjadi penerus perjuangan Mbah Arwani mengasuh pondok Yanbu’ul Qur’an hingga sekarang.

Banyak Kyai telah lahir dari pondok yang dirintis Mbah Arwani, seperti KH. Sya’roni Ahmadi, KH. Hisyam, KH. Abdullah Salam (Kajen), KH. Muhammad Manshur, KH. Muharror Ali (Blora), KH. Najib Abdul Qodir (Jogja), KH. Nawawi (Bantul), KH. Marwan (Mranggen), KH. Ah. Hafidz (Mojokerto), KH. Abdullah Umar (Semarang), KH. Hasan Mangli (Magelang), adalah sedikit nama dari ribuan Kyai yang pernah belajar di pondok beliau.

Mbah Arwani wafat pada 1 Oktober 1994 M/25 Rabi’ul Akhir 1415 H dan dimakamkan di lingkungan kediamannya. Beliau meninggal dalam usia 92 tahun. Meski Mbah Arwani sudah tiada, nama Beliau sangat harum di hati masyarakat. Pondok Yanbu’ul Qur’an, Madrasah TBS, Kitab Faidlul Barakat dan berbagai kitab lain yang sempat ditashihnya, menjadi saksi perjuangan beliau dalam mengabdikan dirinya terhadap masyarakat, ilmu, dan Islam.

Kumpulan dari beberapa sumber

Mbah Arwani dan Sang Pencopet

Friday, December 28th, 2012

Mbah Arwani, itulah kebiasaan sehari-hari masyarakat Kudus dan para santri memanggil Simbah KH. Arwani almarhum wal maghfuurilah. Beliau adalah cucu Mbah Imam Haromain dari jalur KH. Amin Sa’id (putra ketiga).

Sungguh banyak keteladanan yang ada pada diri Mbah Arwani yang bisa diterapkan oleh siapa saja di zaman krisis keteladanan, seperti sekarang ini. Contohnya adalah peristiwa Mbah Arwani kecopetan dalam bus.

Suatu hari Mbah Arwani pergi ke Semarang naik bus dengan ditemani salah satu santrinya, KH. Muhammad Manshur “Sang Badal”. Dalam perjalanan itu, bus penuh sesak sehingga Mbah Arwani harus berdiri berdesak-desakan dengan para penumpang yang lain.

Seperti adakalanya, kesempitan adalah kesempatan merupakan motto pencopet. Dan kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Sang Pencopet untuk merogoh saku piyama Mbah Arwani, namun kelakuan sang pencopet diketahui oleh Sang Badal. Marahlah Sang Badal dan hendak menempeleng Sang Pencopet, tetapi mbah Arwani mencegahnya sambil menasihati Sang Badal: “Wis elah .. wis elah .. untung ora kuwe sing nyopet” (Biarlah .. biarlah .. beruntung tidak kamu yang jadi copetnya).

Pelajaran yang bisa dipetik dari kisah ini adalah keikhlasan dan sikap sabar dari sosok Mbah Arwani yang diajarkan secara langsung kepada “Sang Badal” dan kita semua.

Cerita ini bersumber dari Bapak H. Ma’ruf Efendi (mantan sopir pribadi Mbah Arwani)

Majlis Ta’lim Mbah Imam Haromain

Monday, December 24th, 2012

Menurut KH. Choiro Zjad TA, Majlis Ta’lim Masjid Langgardalem pertama kali diadakan oleh Mbah Imam Haromain, sepeninggal beliau dilanjutkan oleh putra kedua (KH. Moeslim). Setelah KH. Meslim meninggal, pengajian dilanjutkan oleh oleh muridnya, KH. Chadziq (tetapi tidak berlangsung lama karena KH. Chadziq sakit sampai berbulan-bulan), kemudian Majlis Ta’lim diserahkan dan dilanjutkan oleh KH. Turaichan Adjhuri (adik KH. Chadziq). Setelah KH. Turaichan wafat, Majlis Ta’lim dilanjutkan oleh KH. Choiro Zjad (putra dari KH. Turaichan) hingga sekarang.

Majlis Ta’lim ini dislenggarakan setiap malam Ahad dan malam Rabu dan membahas tema-tema tasawwuf a/l. Nashoihud Diniyyah.
Wallahu a’lam.

Diambil-edit dari FB: Aslim.Akmal

Apa yang Menjadi Keramat Bagi Mbah Imam Haromain?

Monday, December 24th, 2012

Beliau memiliki putra-putri yang ‘alim, (1). KH. Marzuqi, (2) KH. Moeslim, (3). KH. Amin Sa’id, (4) KH. Ahmad, (5). Hj. Rumani, dan (6) KH. Husnan.

Santrinya tidak hanya manusia yang haus ilmu, tetapi juga para jin muslim. Keterangan ini bersumber dari beberapa tokoh yang para pendahulunya menjadi santrinya, diantaranya KH. Turaichan Adjhuri asy-Syarofi (ahli ilmu Falak yang tekenal dengan fenomena gerhana matahari total th 1983). Diceritakan oleh Bapak KH. Choiro Zjad TA, menurut Mbah Tur (panggilan KH. Turaichan, yang juga ayah Pak Zjad), sesaat setelah pulang dari mengajar di masjid Langgardalem, Mbah Imam mengajar juga di pondok panggungnya di sebelah selatan rumahnya dengan suara yang lantang. Tetapi anehnya tidak ada satupun manusia di hadapannya. Tentu saja hal ini membuat orang-orang yang melewat di jalan timur rumah kediamannya bertanya-tanya, siapa yang mendengarkan?

Cerita ini bersumber dari Bapak M. Akmal Moeslim (alm, ayah), bapak KH. Choiro Zjad TA, Bapak M. Afdlol Moeslim (cucu), Bapak H. Abdul Haq (alm, cucu menantu), Ibu Hj. Churmah (alm, cucu), Ibu Hj. Mu’inah (alm, cucu).

Diambil-edit dari FB: Aslim.Akmal

Cerita Tutur Dari Waktu ke Waktu Mbah Imam Haromain.

Monday, December 24th, 2012
Suatu hari Mbah Imam Haromain kedatangan salah satu santrinya. Seperti biasanya, Mbah Imam memersilahkan tamunya duduk di sebelahnya di “dipan” tempat beliau tidur. Setelah menyampaikan maksud kedatangannya, tiba-tiba sang santri merasa pantatnya ada yang menggigit, dirabalah pantatnya dan ia menemukan sesuatu yang membuat ia gusar, seekor kutu kecil (orang Kudus menyebutnya “tinggi”). Tanpa sadar dibunuhlah kutu tersebut dan keluarlah aroma khas yang menyengat hidung.Ternyata bau menyengat itu sampai juga tercium oleh Mbah Imam, lalu bertanyalah beliau kepada sang santri.
“Ambune kok koyo tinggi dipateni” – (Baunya kok seperti kutu dibunuh),
Sang santri menimpali “Nggih Mbah, kulo nembe mawon mejahi tinggi” – (Iya mbah saya baru saja membunuh kutu).
Seketika itu Mbah Imam menangis tersedu-sedu.
Sang santri menjadi panik, penasaran dan bertanya-tanya, “Kenging menopo Mbah Imam kok muwun?” (Kenapa mbah kok terisak – isak?).
Setelah cukup lama Mbah Imam menjawab,
“Kowe kudu iso nguripno tinggi sing mbok pateni mau”,(Kamu harus bisa menghidupkan lagi kutu yg baru saja kamu bunuh),
“Tinggi iku mau kancaku, sing nggugah aku wayah tengah wengi”, (Kutu tersebut temanku, yg membangunkan waktu tengah malam)”,
Sopo sing ape nggugah aku nek kancaku mau wis mbok pateni?”(Siapa lagi nanti yg akan ,membangunkan saya lagi kalo sudah kamu bunuh?).
Sang santri termenung … menyesali apa yang telah ia lakukan … “Nyuwun duko soho nyuwun pangapunten Mbah, kulo mboten sengojo mejahi tinggi meniko”
(Saya menyesal dan minta maaf mbah, saya tidak sengaja/khilaf membunuh kutu tersebut).
Sesaat kemudian sang santri berpamitan pulang dengan penuh penyesalan, dan Mbah Imam tetap dalam kesedihannya …

Kisah ini memberi pelajaran kepada para cucu-cucunya agar tidak sewenang-wenang kepada binatang, bisa jadi ia merugikan karena telah mengambil sebagian darah kita untuk sekedar memenuhi kebutuhan hidupnya, meski jelas, tidak ada penyakit yang disebabkan oleh sang kutu, “tinggi”. Tetapi bagi yang lain ternyata binantang bisa menjadi sahabat terbaiknya … wallahu a’lam

Cerita ini bersumber dari M. Akmal Moeslim (ayah), bapak KH. Choiro Zjad TA, bapak H. Muslih Puspitan (alm), bapak H. Abdul Haq Kauman Menara (alm), [cucu menantu]

Diambil-edit dari  FB : Aslim.Akmal

Kata Pengantar

Assalamu'alaikum Warohmatulloh Wabarokatuh

 Selamat datang di website keluarga besar KH. Imam Haromain - Kudus, https://www.haromain.org.
Semoga dengan adanya media dan forum di internet untuk silaturohmi dan diskusi akan menambah erat dan kenal dalam hubungan kekeluargaan kita semua. Amin.


Wassalamu'alaikum Warohmatulloh Wabarokatuh
Cari Berita :



  Facebook groups "Keluarga.Haromain"